Syaratnya, Jika Masyarakat Pesisir dan Naga Bintang “ Dibangunkan “ Dari Tidur Panjangnya
Jamaika adalah salah satu “kiblat” dalam hal pengelolaan potensi laut menjadi destinasi wisata yang mempesona. Jamaika punya wisata kota bawah laut Port Royal. Juga pantai Montego Bay atau yang populer dengan sebutan Mobay.
Di Mobay yang merupakan tempat wisata penghasil devisa terbesar bagi Jamaika, wisatawan bisa menikmati keindahan pantai, pasir laut, penangkaran terumbu karang, kura-kura, juga ikan paus.
Pesona Mobay itulah yang membuat mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Albert Arnold Gore Jr atau yang lebih dikenal dengan Al Gore, menjadikan Jamaika sebagai tempat wisata favoritnya.
Tahun 2000 silam, beberapa media Amerika Serikat memuat berita Al Gore tengah berlibur di kawasan ekowisata di pulau Jamaika. Jauh-jauh datang ke Karibia, dia hanya ingin melihat ikan paus. Bagi pria yang kerap terlibat dalam aksi penyelamatan lingkungan ini, aktivitas melihat ikan paus itu merupakan terapi terbaik setelah dirinya kalah dalam Pemilihan Presiden.
Dari ilustrasi tersebut, ada beberapa pertanyaan penting yang mengemuka. Pertama, bagaimana menjadikan pantai sebagai wisata yang memesona seperti di Jamaika sehingga tokoh terkenal dunia pun rela jauh-jauh datang sekadar untuk berwisata yang tentu saja akan menjadi sumber pendapatan kota. Kedua, bisakah kelak, Surabaya dengan Pantai Kenjeran nya, menyamai pesona pantai di Jamaika sehingga apa yang dilakukan Al Gore di Jamaika, juga bisa terjadi di Surabaya.
Jawabanya, tidak ada yang tidak mungkin. Ya, bukan tidak mungkin, kelak, Al Gore ataupun pemimpin berpengaruh di dunia lainnya, dengan senang hati jauh-jauh datang ke Pantai Kenjeran Surabaya demi untuk melihat Naga Bintang atau yang lazim dikenal dengan Hiu Tutul.
Memang benar, perwujudan ekowisata di pulau Jamaika begitu indah sehingga menggoda setiap orang untuk datang. Namun, bukan berarti Pantai Kenjeran tidak bisa menjadi ekowisata seperti Jamaika. Selama ada komitmen kuat dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk mewujudkannnya, harapan ke arah sana bisa mendekati kenyataan.
Bahkan, harapan itu kini tinggal menunggu waktu. Sebab, Pemkot Surabaya melalui Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko), kini tengah mendesain dan akan bekerja keras untuk menjadikan ekowisata Kenjeran sebagai destinasi wisata yang sangat menarik.
“Kami tengah merencanakan pantai Kenjeran menjadi ekowisata yang menarik dengan mendesain beberapa spot/lokasi di kawasan pesisir secara terkoneksi agar bisa menjadi daya tarik tersendiri “ ujar AA Gede Dwija Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeko ketika menjelaskan rencana Pemkot Surabaya mengembangkan wisata Kenjeran dihadapan awak media belum lama ini.
Culture Setting yang Kurang Pas, Berdampak Pembangunan yang Kontraproduktif
Pemkot Surabaya memang punya harapan besar melihat Pantai Kenjeran tidak hanya sekadar pantai. Bagi Pemkot, memiliki garis tepi pantai yang cukup panjang, adalah sebuah potensi yang amat sayang bila tidak digarap serius.
Karena itu, Bappeko kini tengah menyiapkan ‘berbagai jurus’ untuk menghidupkan kembali potensi pantai kenjeran sebagai destinasi wisata favorit. Keseriusan Pemkot terlihat pada beberapa progres pembangunan di kawasan paling timur di Surabaya itu. Seperti pembangunan Taman Bulak, Jembatan THP Kenjeran, Sentra Niaga dan lain sebagainya.
Sayangnya, sentuhan-sentuhan yang dilakukan oleh Pemkot ysng berupa pembangunan di kawasan Kenjeran rupanya masih belum bisa berjalan secara sinergi dengan masyarakat lokal.
“ Saya melihat sebenarnya pemkot telah melakukan upaya yang bagus namun, untuk kajian sosial dengan pendekatan psikologi dalam pengembangan wilayah kenjeran saya rasa masih kurang, mereka rupanya masih intens disektor arsiteknya” tutur Pengamat Psikologi Sosial, Akhmad Fauzie, saat ditemui diruang kerjanya.
Terbukti masih belum nampaknya manfaat dari pembangunan yang telah dilakukan oleh Pemkot Surabaya tersebut. Salah satu yang paling nampak adalah sentra ikan Bulak, meskipun secara perhitungan arsitektur sentra ikan Bulak begitu bagus dan strategis namun, nyatanya belum bisa dikatakan memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat nelayan.
Hal tersebut bukannya tanpa sebab, entah karena adanya mis comunication antara pihak Pemkot dan masyarakat, yang pasti saat ini ketidak sinergian terjadi disana atau mungkin karena Surabaya sebagian besar bukan menjadi daerah pesisir.
Asumsi saya ada beberapa hal diantaranya, pertama, adanya penyeragaman yang tidak bisa diterima oleh masyarakat, yang kedua masyarakat masih mempertahankan culture atau tradisi dan yang ketiga adalah tidak terbiasa dengan sistem Saving, serta yang terakhir adanya stigma yang buruk dan telah melekat.
Berdayakan Masyarakat Pesisir Sesuai Keahlian dan Munculkan Side Potensi
Dalam pengembangan wisata Kenjeran pembangunan sentral niaga seperti sentra ikan Bulak sebetulnya sudah sangat mendukung. Namun, adanya sentra niaga tersebut kurang bersinergi dengan budaya masyarakat pesisir seperti masyarakat sekitar kenjeran, dimana sebetulnya budaya dikawasan pesisir ini sangat kuat dengan budaya masyarakat nelayan yang tidak mengenal system saving yang biasa digunakan pada masyarakat agraris.
Dimana dalam budaya masyarakat pesisir dalam hal ekonomi terbiasa dengan sistem habis atau tidak mengenal sistem disimpan, berbeda dengan masyarakat agraris/petani yang justru sebaliknya, mereka terbiasa harus menjual habis hasil melautnya sesaat setelah pulang melaut.
Dan yang dilakukan Pemkot adalah membuat central niaga yang lebih condong ke sistem agraris seperti sentra ikan Bulak menjadi sebuah kontra produktif, dan yang terjadi adalah penolakan karena mereka merasa ada cultur setting yang tidak pas
Jika Pemkot peka, Pemkot seharusnya memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat pesisir dengan pemberdayaan potensi kekhas-an kampung nelayan menjadi sebuah kampung wisata yang memiliki nilai jual tersendiri.
Seharusnya, kampung nelayan dikawasan pesisir “Dibangunkan dari tidur lamanya” dan dikembangkan kemampuannya dengan berdasarkan keahlian masyarakatnya. Seperti yang saat ini nampak pada masyarakat pesisir, saat ini mereka memiliki keahlihan dalam pengolahan ikan asap, pengolahan kerajinan laut tangan dan pengolahan kuliner laut lainnya. Jadi, dibuatkan blok-blok kampung nelayan berdasarkan keahlihan mereka, misal blok kampung wisata ikan asap dan lainnya.
Hal tersebut selain bisa dengan mudah untuk memetakan, bisa juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk lebih mengeksplore lebih dalam wisata Kenjeran. Selain itu, Pemkot harus bisa mensentralkan destinasi wisata kuliner laut diseluruh sudut kota Surabaya ke kawasan wisata Kenjeran, karena dengan demikian, selain pengawasannya mudah hal itu juga bisa mendorong kawasan Kenjeran bisa berkembang.
Sebagai pendongkrak dan pendukung pengembangan wisata kenjeran, Pemkot yang memiliki legal power harus bisa mensentralkan wisata kuliner laut yang tersebar di Surabaya ke kawasan wisata Kenjeran.
Karena saat ini yang menjadi sentra wisata kuliner laut dikota pahlawan ini bukan malah dikawasan pesisir tetapi malah ditengah kota.
Lihatlah dikawasan jalan Kertajaya, Dharmahusada, G-walk dan lain sebagainya, kalau dihari minggu pasti sudah antri-antri kalau mau makan di rumah makan yang menawarkan olahan hasil laut di kawasan tersebut.
Apalagi sebetulnya, Kenjeran memiliki side potensi yang selain keahlihan masyarakat pesir dalam pengolahan ikan dan pembangunan-pembangunan disana. Kenjeran punya ritual tahunan “ dikunjungi “ ikan Hiu Tutul atau Naga Bintang.
Dimana jika ritual ini di jadikan sebuah paket wisata berupa perjalanan wisata petualangan bersama nelayan, dengan bonus bisa melihat Hiu Tutul maka saya yakin Kenjeran punya daya tarik tersendiri sebagai penutup kekurangan pantai kenjeran yang saat ini terlihat kotor dan tidak memiliki zona pasir putih karena hanya terdiri batu-batuan cadas.
Jika upaya tersebut dilakukan maka bukan menjadi sesuatu hal yang tidak mungkin, jika, pantai Kenjeran yang telah terkemas apik menjadi sebuah destinasi yang bisa go internasional. (nafan hadi)