Surabaya, Cakrawalanews.co – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Anik Maslachah mengkritik Peraturan Menteri Pertanian (Permentaan) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020. Peraturan tersebut diprotes DPRD Jawa Timur karena tidak berpihak kepada para petani.
Protes terkait dengan jatah pupuk bersubsidi yang dialokasikan pusat di Jawa Timur berkurang dan jauh dari kebutuhan pupuk yang ada di lapangan sekitar 55%. Jatah pupuk bersubsidi untuk tahun ini dengan rincian, jenis Urea 553.546 ton, SP-36 66.123 Ton, ZA 186.766 Ton, NPK 437.809 Ton, dan Organik 105.350. Padahal jatah pupuk bersubsidi Jatim di tahun sebelumnya 2019 lebih tinggi, yaitu Urea 1.074.758 Ton, SP-36 155.499 Ton, ZA 508.938 Ton, NPK 590.710 Ton, dan Organik 507.404 Ton.
Pengurangan tersebut, kata Anik akan berdampak pada produksi pertanian di Jawa Timur, khususnya padi. Dampak yang bisa diprediksi adalah Jawa Timur tidak bisa memenuhi lagi kebutuhan beras nasional, karena selama ini kebutuhan beras nasional disuplai dari Jawa Timur.
Selain itu, target kenaikan produksi pangan Jawa Timur sebesar 7 persen di tahun 2020 dibanding dengan tahun sebelumnya dapat dipastikan tidak akan tercapai.
“Ini kebijakan pusat yang tidak berimbang. Karenanya komisi B harus melakukan klarifikasi dan meminta kepada Kementrian Pertanian minimal dikembalikan pada kebijakan tahun sebelumnya,” ungkap politisi PKB itu saat memberikan sambutan dalam acara sosialisasi Perda Jawa Timur No 5 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Hotel Santika Banyuwangi, Rabu (5/2).
Perempuan yang digadang-gadang maju sebagai Calon Bupati Sidoarjo itu memberikan solusi jika Permentan No 1 Tahun 2020 tidak bisa ditarik, yaitu dengan melibatkan intervensi Pemprov Jatim. Pemprov Jatim diminta untuk memberikan hibah untuk pupuk bersubsidi dengan skema membeli pupuk reguler dengan jumlah yang sama dan menjualnya kembali kepada petani dengan harga subsidi.
Tidak hanya terkait ketersediaan pupuk, Anik Maslachah juga menyoroti soal tata niaga hasil pertanian yang belum berpihak kepada petani. Rantai perniagaan hasil pertanian di Indonesia terhitung sangat panjang karena masih diwarnai oleh tengkulak yang berdampak pada nilai tukar petani rendah dan harga eceran tertinggi (HET)nya tinggi.
“Era revolusi industri 4,0 ini saya pikir pemerintah harus intervensi dengan melakukan konsep pemasaran dan promosi sistem daring, semisal Farm mart. Sehingga pembeli bisa langsung bertransaksi dengan petani melalui internet dan itu pemerintah harus menfasilitasi,” pungkasnya. (Caa)