Meski saat ini menguat nama Rasiyo-Dhimam Abror, namun, Koalisi Majapahit bersikukuh tidak akan mengusung pasangan calon pada Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2015 ini. Koalisi yang terdiri dari tujuh partai itu menilai, pasangan calon itu bukan cerminan koalisi, tapi internal partai politik (parpol) yang bersangkutan.
Beredar kuat bahwa Rasiyo yang merupakan mantan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jawa Timur (Jatim) ini mendapat rekomendasi dari Partai Demokrat. Sedangkan Dhimam Abror Djuraid adalah yang kini menjabat sebagai Ketua Harian KONI Jatim ini mendapat rekomendasi dari PAN. Jika digabung, dua parpol ini memiliki 10 kursi yang mencukupi untuk mengusung paslon, lantaran, di DPRD Kota Surabaya PAN meraih empat kursi dan Partai Demokrat enam kursi.
Terkait hal tersebut, Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit, AH Thony memastikan, pihaknya sudah menarik diri dari proses Pilwali Surabaya. Ketika ada parpol di koalisi yang bermanuver dengan mengusung pasangan calon sendiri, itu menjadi ranah dan kewenangan parpol yang bersangkutan.
Lantaran gabungan parpol ini berbentuk koalisi, maka tetap ada peluang bagi parpol yang terlibat didalamnya untuk mengusung pasangan calon sendiri.
“Kami memahami itu (PAN dan Partai Demokrat mengusung pasangan calon sendiri). Namanya koalisi kan tidak sama dengan merger atau akuisisi. Jadi tergantung dari kepentingan parpol masing-masing,” katanya usai diskusi ‘Membangun Kepastian Hukum di Pilkada’ di salah satu rumah makan di Jalan Ahmad Yani kemarin.
Politikus dari Partai Gerindra ini mengungkapkan, dengan munculnya manuver dari Partai Demokrat dan PAN ini, publik akhirnya mengetahui, mana parpol yang komitmen dan tidak terhadap koalisi. Namun, pihaknya tetap tidak akan mengusung pasangan calon lantaran aturan masa perpanjangan pendaftaran oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai cacat hukum.
“Kami khawatir, kalau kami memilih untuk mengusung pasangan calon dan mendaftar ke KPU, nanti ada masalah hukum dikemudian hari. Maka, kami lebih memilih untuk menggugat KPU lewat PTUN (pengadian tata usaha negara),” paparnya.
Sementara itu, pengamat hukum, M Sholeh menilai, parpol mengusung ataupun tidak mengusung paslon, merupakan hak politik. Sama saja dengan pemilih, mereka bisa menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Jika pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana dianggap lawan yang tidak akan terkalahkan, maka sah-sah saja parpol lain tidak mengusung paslon.
“Yang penting, negara kan sudah memberi kesempatan pada parpol ataupun perseorangan untuk mendaftar. Jika sampai batas waktu yang ditetapkan tidak ada yang mendaftar yang tidak masalah. Ketika cuma ada satu pasangan calon, ya ditunda saja. Ngapain dipaksakan sehingga harus ada perpanjangan,” katanya.
Jika ada perpanjangan masa pendaftaran, lanjut dia, kemungkinan besar akan muncul paslon-pasangan calon boneka. Tujuannya agar Pilkada bisa tetap digelar. Namun, dia mengingatkan bahwa, siapapun yang mendaftar pada masa perpanjangan pendaftaran, yakni tanggal 9-11 Agustus, akan rawan gugatan hukum. Pasalnya, aturan itu hanya mengacu pada Surat KPU, bukan Peraturan KPU.
“Masak Pilkada itu digelar hanya mendasarkan pada surat KPU. Ini kan aneh. KPU kabupaten/kota sebenarnya punya hak untuk tidak membuka perpanjangan masa pendaftaran paslon karena landasan hukumnya tidak kuat,” tandasnya.(red/mnhdi)