Jakarta, Cakrawalanews.co – Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) langsung melemparkan ingatan kolektif elemen bangsa pada ingatan kelam tahun 65. Perburuan dan pembunuhan pada para pengurus dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) kini sedang menghantui HTI. Akankah sejarah kekerasan di Indonesia berulang?
Bayangan ketakutan berdasar sejarah kelam itu mulai meruyak seiring beredarnya sebuah dokumen yang memuat sedikitnya 1.300 nama pengurus, anggota, dan simpatisan HTI di 34 provinsi.
Dokumen 73 halaman itu dipercaya sebagai daftar pengurus, anggota, dan simpatisan HTI di seluruh Indonesia. Nama-nama yang tertera dalam dokumen itu disebut dari beragam profesi seperti pegawai pemerintah alias aparatur sipil negara, TNI, Polri, akademisi (PTS dan PTN), serta unsur lainnya.
Dokumen yang diketik dengan font Arial tersebut menyebar secara acak dan tidak diketahui pembuatnya. Dokumen itu juga tanpa kop institusi. Isinya lengkap, mulai dari nama, alamat, pekerjaan, hubungan dengan HTI, dan nomor ponsel.
Juru bicara HTI, Ismail Yusanto mengaku sudah mendapatkan dokumen tersebut beberapa hari lalu. Ia mengungkapkan, sebagian identitas yang tercantum memang pengurus HTI. Namun ia tak ingin memastikan untuk sebagian lainnya. Ismail menegaskan, HTI tak pernah melakukan pendataan seperti itu.
“Kalau ini kan kerja intel. Dandim mungkin akan begini,” kata Ismail.
Ia meyakini, pendataan identitas dalam dokumen itu berkaitan dengan pembubaran HTI. Ia khawatir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu Ormas) Nomor 2 Tahun 2017 berdampak secara personal kepada pengurus maupun simpatisan HTI.
“Perppu itu bukan hanya menyasar organisasi tapi juga menyasar orang. Nanti bisa terjadi pemidanaan terhadap orang,” tuturnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo juga mengaku mendapatkan dokumen serupa. Namun menurutnya masih perlu diperiksa kembali akurasinya.
“Di Kemendagri sedang pengecekan detail dulu, ada atau tidak. Yang ASN, kan, perlu dicek dengan benar, jangan sampai jadi fitnah,” kata Tjahjo Kumolo.
Di sisi lain, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku pihaknya tidak mengumpulkan data identitas yang tercantum dalam dokumen tersebut. Gatot malah menganggap dokumen yang sudah beredar itu sebagai hoax.
“Enggak ada itu. Percuma kalau hoax, saya enggak mau menanggapi hoax. Mana ada saya yang mengusulkan. Ngawur,” katanya.
Sementara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan kepolisian biasa melakukan pendataan terhadap organisasi. Langkah pendataan macam ini, kata Tito, akan menjadi bagian dari “mendalami permasalahan untuk menegakkan hukum” terhadap HTI.
Meski begitu, Tito enggan menjelaskan apa pihaknya sudah melakukan pendataan tersebut.
“Itu pasti harus kami lakukan. Karena ini ormas yang sudah dibubarkan, dilarang. Pasti kami lakukan, kerjaannya polisi memang itu. Itu tugas polisi, ada bagian namanya badan intelijen,” ujar Tito, Kamis kemarin.
Tito mengatakan bahwa pola pendataan profil dan identitas yang dilakukan oleh Polri selalu secara rahasia. Tugas macam ini diserahkan kepada intelijen atau Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
“Mereka bisa bergerak tanpa mengundang reaksi berlebihan dari publik,” ujar Tito.
Menanggapi hal ini, wakil koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Puri Kencana Putri menyatakan, ada pihak yang ingin memicu ledakan konflik horizontal di Indonesia dengan beredarnya dokumen terkait HTI.
“Ada siklus kekerasan yang tampaknya sedang dirancang,” ujar Puri, Selasa lalu.
Ia mendesak agar pembuat dokumen berisi profiling pengurus, anggota, dan simpatisan HTI harus segera dicari tahu. Menurutnya hal itu jadi tanggung jawab pemerintahan Jokowi guna menelusuri siapa yang memiliki kemampuan untuk mengumpulkan data itu.
“Harus dipertanggungjawabkan. Kita punya Badan Intelijen Negara. Dicari dong sumber penyebar informasi yang ngawur ini, itu tugas negara,” kata Puri.
Puri menambahkan, penyebaran dokumen pengikut HTI ini mirip dengan profiling orang-orang yang secara subjektif dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjelang pembantaian massal 1965-1966.
Begitupun dalam kasus penembakan misterius alias Petrus ketika upaya penelusuran identitas seseorang yang menjadi target operasi semakin serius.
“Negara mengakui bahwa mereka mengejar kelompok sosial tertentu. Profiling preman di mana-mana. Modus tembak di tempat kemudian dibenarkan,” terangnya.
Hal serupa terjadi lagi ketika orang-orang yang dianggap dukun santet didata untuk dibunuh. Kasus ini terjadi di Banyuwangi dan beberapa wilayah di Jawa Barat.
“Modusnya juga sama. Berbasis rumor dan desas-desus. Bahkan negara membiarkan praktik mob violence,” ujarnya.
KontraS mengingatkan agar Presiden Jokowi tidak kaku usai membubarkan HTI. Jokowi harus membangun dialog, bukan memfasilitasi kebencian terhadap HTI makin naik.
Senada, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965, Bedjo Untung mengakui pada peristiwa 1965 beredar daftar nama tokoh PKI. Isinya, para pengurus dari daerah hingga pusat yang harus dibantai.
“Pada peristiwa 65, kan, sengaja (data itu) disebarkan tentara yang konon katanya didapat dari CIA. CIA juga memang punya catatan mengambil nama-nama dari koran dan sebagainya, nama itu sudah dikenal umum,” ujar Bedjo.
Bedjo menilai, data terkait pengikut HTI sengaja disebarkan guna memancing kerusuhan. Ketika kerusuhan tersebut meledak, terbukalah ruang pengambilalihan pemerintahan.
“Saya khawatir ada pihak tertentu yang ingin memunculkan chaos seperti peristiwa 65 yang terjadi huru-hara besar-besaran,” tuturnya.
Sementara Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menganggap pola pengidentifikasian dalam dokumen tersebut memicu persekusi. Ini sudah terjadi pada pengikut Muslim Ahmadiyah dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
“Itu bisa menjadi teror mental buat orang-orang yang namanya di situ. Itu bisa menimbulkan konflik sosial. Bayangkan, kalau ada ormas yang berlawanan ideologinya, kemudian melakukan langkah-langkah sendiri, kan berbahaya,” ujar Asinawati.(tid/ziz)