Terkait kenaikan tarif retribusi parkir dalam rapat dengar pendapat di ruangan Komisi B DPRD Surabaya dengan Pemkot Surabaya hari ini Selasa (25/8) berakhir dengan beberapa catatan. Hal ini diakui oleh Komisi B DPRD Surabaya sekaligus mempersilakan untuk diterapkan karena dipandang akan berdampak positip terhadap semua pihak, utamanya PAD Kota Surabaya, Namun dewan tetap meminta agar Pemkot Surabaya memperbaiki kesiapan penerapan kenaikan tarif, utamanya terkait stempel harga di karcis parkir.
Anggota Komisi B DPRD Surabaya asal FPDIP Baktiono, mengatakan bahwa pihaknya mempersilahkan kepada Pemkot untuk melanjutkan kebijakan kenaikan tarif retribusi parkir, karena telah mengacu kepada Perda yang ditindaklanjuti dengan Perwali sebagai dasarnya.
“Terkait pemberlakukan tarif parkir di tepi jalan umum yang terkesan mendadak, ternyata sudah ada Perdanya yang disahkan tahun 2012, dan menurut keterangan Dishub, peraturan itu juga mendopsi usulan para juru parkir, yang awalnya ditarget untuk naik oleh kepala plataran, sehingga muncullah usulan, tarifnya saja yang naik, dan aturan itu akan diberlakukan paling lama tiga tahun, artinya saat ini sudah waktunya, dan dituangkan dalam Perwali,” terangnya.
Hanya saja Baktiono menyayangkan, kenapa Pemkot Surabaya tidak mengantisipasi karcis baru dalam kurun waktu yang cukup lama yakni 3 tahun, sebelum Perda dan Perwali soal kenaikan tarif retribusi parkir akan diberlakukan.
“Memang dalam penerapannya ada celah, utamanya terkait karcis parkir yang digunakan, yang seharusnya bisa diantisipasi, karena jika mengacu munculnya Perda itu yang akan diberlakukan paling lama tiga tahun, semestinya ditahun-tahun sekitar 2012 hingga 2014 sudah dipersiapkan,” kritiknya.
Lanjut Baktiono, namun sayangnya karcis parkir itu ternyata sudah dicetak dalam jumlah yang besar dan biaya yang tidak sedikit, karena melalui proses lelang, kalau tidak salah senilai 1,2 miliar, sehingga untuk dilakukan penghapusan juga tidak mudah, apalagi juga harus disertai laporan ke BPK dan sebagainya, maka lebih baik memanfaatkan karcis yang ada.
Untuk itu, Baktiono meminta agar celah yang terjadi bisa diperbaiki yakni masih terlihatnya tarif lama di karcis parkir mesti telah distempel dengan tarif yang baru, karena berpotensi menimbulkan polemic di masyarakat, utamanya pengguna jasa parkir.
“Jika demikian, seharusnya dalam stempel itu bisa menutup tarif yang lama, sehingga yang nampak hanya tarif yang baru, jangan dobel seperti sekarang ini, dampaknya terjadi polemic di masyarakat, karena mereka akan mempertanyakan kepada juru parkir dianggapnya bermain-main dengan harga karcis itu,” tandasnya.
Tidak hanya itu, Baktiono juga mepertanyakan soal jaminan kesehatan bagi para juru parkir yang hampir seluruhnya mempunyai latar belakangan warga tidak mampu, karena Pemkot Surabaya telah menganggarkan dana sekitar 120 miliar untuk itu.
“Seharusnya para juru parkir juga diberikan asuransi, yakni pertanggungan kesehatan yang difasilitasi oleh pemerintah, karena dalam tahun anggaran 2015 ini kami sudah mengesahkan 120 miliar untuk itu, dan sesuai Perwali no 53, maka dana ini harus disalurkan kepada masyarakat yang tidak mampu, dan juga BPJS jenis pemberian bantuan iran (PBI), dengan demikian juru parker dan keluarganya bisa tercover semua,” tegasnya.
Lebih lanjut, Baktiono mengusulkan kepada Pemkot Surabaya untuk memberikan fasilitas parkir gratis kepada masyarakat yang selama ini dinilai membantu kinerja pemerintahan, termasuk para wartawan yang selama ini memberikan informasi melalui jaringan medianya.
“Pemberlakuan kenaikan tarif ini memang layak diberlakukan, asal penerapannya seperti petunjuk kami tadi, yakni tarif yang baru menutup yang lama, namun kami juga mengusulkan agar Pemkot Surabaya juga mulai memikirkan masyarakat yang tugasnya sehari-hari dinilai membantu Pemkot, seperti wartawan, PAUD, atau lansia yang memang mobile-nya tinggi, agar diberikan batuan fasilitas bebas parkir, bentuknya terserah, bisa saja dibuatkan semacam Green Card atau yang lain,” pungkasnya. (herr/mnhdi)