Kini, delapan dekade setelah Resolusi Jihad, tantangan santri tak lagi di medan perang bersenjata, tapi di medan pertempuran moral dan digital. Dunia sedang berlari cepat ke arah yang tak selalu pasti. Di sinilah santri dituntut untuk tidak hanya ngaji kitab, tetapi juga ngaji zaman. Santri masa depan adalah mereka yang mampu menafsirkan nilai-nilai klasik dalam bahasa teknologi dan sains; yang mengaji Al-Ghazali tapi juga memahami algoritma; yang membaca tafsir tetapi juga menulis kode.
Indonesia esok memerlukan santri yang berkarakter dan berkompeten bukan hanya menguasai ilmu agama, tapi juga ilmu kehidupan. Yang siap menjadi dokter dengan akhlak, insinyur dengan nurani, politisi dengan amanah, dan wirausahawan dengan keberkahan. Karena sejatinya, spirit kesantrian adalah kesadaran untuk bermanfaat seluas-luasnya bagi sesama.













