Oleh: Redaksi CakrawalaNews.co
Kota Surabaya tengah memasuki jalan terjal dalam pengelolaan fiskalnya. Ruang fiskal yang semakin menyempit akibat pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat ditambah perolehan bagi hasil opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dari provinsi yang tak sesuai harapan membuat kebutuhan pembangunan yang terus meluas tidak lagi bisa ditopang dari kas daerah yang terbatas.

Ditambah lagi dengan tuntutan kemandirian fiskal pasca diberlakukannya Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD).
Pilihan untuk sepenuhnya menghindari utang bukan lagi realistis. Kota modern menuntut infrastruktur maju, layanan publik berkualitas, dan investasi berkelanjutan. Semua itu membutuhkan biaya besar.
Namun, berdamai dengan utang bukan berarti menyerahkan masa depan kota pada beban pinjaman. Justru di sinilah kedewasaan tata kelola fiskal diuji: bagaimana memastikan setiap rupiah utang dialokasikan secara produktif, transparan, dan akuntabel.
Yang terpenting utang harus dipandang sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar penambal defisit akibat turunnya dana transfer baik pusat maupun provinsi.
Langkah instan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memang mudah, karena basis data dan mekanismenya sudah tersedia.
Tetapi lonjakan pajak ini berisiko menimbulkan tax shock, menurunkan kepatuhan, bahkan memicu protes sosial sebagaimana terjadi di daerah lain. Ini menegaskan bahwa kemandirian fiskal tidak boleh dibangun dengan mengorbankan keadilan sosial.
Sejarah pembangunan kota-kota besar membuktikan, utang publik dan instrumen pembiayaan kreatif mulai dari optimalisasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) hingga Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sering kali menjadi motor akselerasi.
Yang membedakan hanyalah komitmen tata kelola apakah ia diarahkan untuk kebutuhan strategis yang mendongkrak ekonomi kota, atau sekadar memenuhi proyek jangka pendek tanpa manfaat berkelanjutan.
Kini saatnya Surabaya berdamai dengan utang dan berani menempuh jalur pembiayaan alternatif, tanpa kehilangan transparansi dan keberpihakan pada rakyat.
Dimana jalan menuju kemandirian fiskal memang terjal, penuh risiko, dan menuntut keberanian politik karena ini merupakan hal baru yang membutuhkan sikap adaptif.
Semua itu demi penanganan banjir, pelebaran Jalan Wiyung, pembangunan saluran diversi Gunungsari, pembangunan Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB), dan pemerataan penerangan jalan umum (PJU) bisa terwujud di kota Surabaya di tahun ini.
Tetapi dengan manajemen fiskal yang disiplin, partisipasi publik yang dijaga, serta keberanian mengoptimalkan potensi daerah, Surabaya dapat membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti, melainkan batu loncatan menuju kota modern yang lebih adil dan mandiri.

Berita Terkait
Berita Utama Lainnya
