Surabaya. Cakrawalanews.co – Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Subianto meminta dan berharap agar dinas Pertanian bisa membuat Alat Pembuat Pupuk Organik (APPO) massal yang kemudian diberikan ke petani, sehingga ketergantungan terhadap pupuk subsidi bisa dikurangi.
“Namanya Alat Pembuat Pupuk Organik (APPO). Dinas pertanian mengganggarkan program pembuatan APPO ini secara massal. Kenapa harus Dinas ? karena biayanya lumayan besar untuk membuat satu alat APPO ini sekitar 60-80 juta rupiah,” ungkap Subianto dikonfirmasi, Kamis (01/12/2022).
Menurut Subianto, carut marut masalah pupuk yang tak juga ada titik terang ditengarai akibat adanya kebijakan yang tidak jelas dan tidak tegas. Jika tidak segera dibenahi bakal menjadi masalah yang tak kunjung ada solusinya.
Sebagai contoh, provinsi Jatim yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional pada tahun 2023 hanya mendapat jatah pupuk subsidi sebanyak 1.624.299 ton atau berkurang sekitar 361.429 ton dibanding jatah tahun 2022. “Tahun depan alokasi pupuk subsidi untuk Jatim hanya tinggal pupuk Urea sebanyak 1.002.944 ton dan pupuk NPK sebanyak 621.355 ton,” kata Subianto
Pada tahun 2022, kata Subianto provinsi Jatim mendapat alokasi pupuk subsidi sebesar 2.033.745 ton meliputi Urea 1.061.017 ton, SP-36 34.638 ton, ZA 86.437 ton, NPK 621.355 ton, POG 121.529 ton, dan POC 48.031 ton. “Sepanjang tahun 2022 persoalan kelangkaan pupuk hampir merata di seluruh Jatim. Apalagi tahun depan alokasinya dikurangi, tentu nasib petani akan semakin merana,” beber politikus partai Demokrat.
Idealnya, alokasi pupuk subsidi untuk Jatim berdasarkan luas areal pertanian adalah sebanyak 2,6 juta ton. Namun sejak tahun 2021 alokasi pupuk subsidi untuk Jatim cenderung menurun. “Tahun 2020 Jatim mendapat jatah pupuk subsidi sebanyak 2.349.959 ton, tahun 2021 naik menjadi 2.883.501 ton. Tapi tahun 2022 turun drastis menjadi 2.033.759 ton, dan tahun 2023 mendatang berkurang lagi menjadi 1.624.299 ton,” beber politikus asal Kediri ini.
Kebutuhan pupuk subsidi, kata Subianto terjadi dari hulu hingga hilir. Pasalnya, kebutuhan riil petani hanya mampu dipenuhi pemerintah kisaran 30 persen. Belum lagi dalam distribusi pupuk subsidi di lapangan berlaku hukum rimba karena siapa yang cepat dialah yang dapat. “Makanya banyak petani yang mengeluh karena di saat membutuhkan pupuk subsidi di toko pengecer sudah tidak ada karena sudah diborong orang lain,” jelas Subianto.
Ia juga tidak menyalahkan pedagang pengecer (kios) pupuk karena semakin cepat dagangannya laku akan semakin cepat balik modal. “Makanya distributor pupuk juga harus ikut bertanggungjawab mengatur pedagang pengecer supaya distribusi pupuk subsidi bisa merata,” harap Subianto.
Di sisi lain, penggunaan pupuk anorganik dalam waktu yang lama juga berdampak mengurangi tingkat kesuburan tanah. “Penggunaan pupuk organik itu bisa memperbaiki tingkat kesuburan tanah sehingga hasil pertanian akan semakin baik dan dari sisi biaya juga lebih murah,” pungkasnya.