Jakarta, Cakrawalanews.co – Di tengah tidak menentunya hasil negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport terkait proses divestasi ternyata muncul kebijakan pemerintah yang menurunkan pajak bagi Freeport. Kebijakan penurunan pajak Freeport ini tertuang dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP).
“Tentang penerimaan negara, RPP disusun Bu Sri Mulyani (Menkeu), divestasi baik waktu dan nilai itu ditangani tim gabungan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,” kata Menteri ESDM, Ignasius Jonan, kemarin.
RPP ini sudah berada di laci meja Sekretariat Negara. BAB VII Pasal 14 menyebutkan, tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25 persen. Turun dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35 persen. Cuma, Freeport menanggung bagian pemerintah pusat sebesar 4 persen dari keuntungan bersih pemegang IUPK dan bagian pemerintah daerah sebesar 6 persen.
Sepintas, akumulasi pajak Freeport lewat RPP ini, sama yakni 35 persen, seperti pada aturan KK. Tapi jika dibedah lebih dalam, pungutan 35 persen dalam KK dihitung dari laba perusahaan sebelum dikurangi bunga utang dan pajak terutang atawa EBITDA. Sedangkan tambahan pajak bagian pemerintah pusat dan pemda 10 persen dihitung dari laba bersih.
Sebagai ilustrasi, apabila laba operasi Freeport Rp 10.000 dan terkena PPh badan 35 persen Maka Freeport harus membayar pajak senilai Rp 3.500.
Sementara dengan sistem yang baru, Freeport membayar PPh Badan Rp 2.500, plus bagian pemerintah pusat dan daerah Rp 750 (laba operasi Pph Badan). Jadi total yang harus dibayar cuma Rp 3.250.
Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono enggan memberikan penjelasan lebih rinci mengenai beban pajak Freeport dalam RPP Stabilitas Investasi.
“Tanya ke Kementerian Keuangan,” elaknya.
Bambang juga mengelak menjawab apakah pajak yang ditanggung Freeport itu akan menghilangkan skema nail down (kontrak sebelumnya) dan memakai prevailing atau mengikuti perubahan sistem perpajakan dari pemerintah.
Saat dikonfirmasi, juru bicara Freeport Indonesia Riza Pratama juga menolak memberikan komentar.
Pengamat Hukum Sumber Daya Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai, RPP itu bertentangan dengan Pasal 23 A UUD 1945, serta UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Tanpa RPP ini pun sudah ada perlakuan pajak yang tersebar dalam berbagai regulasi,” terangnya.(kcm/ziz)