Surabaya. Cakrawalanews.co – Dirut PT Jatim Graha Utama (JGU) Mirza Muttaqien mengatakan saat ini pihaknya mencoba menerapkan program lumbung pangan untuk membantu mengatasi persoalan kenaikan harga beras yang melambung. Dengan pola intervensi pada masyarakat serta menggabungkan pada pola ketersediaan dan jalur distribusi.
“Pola itu yang kita pakai yang dikenal sebagai lumbung pangan Jatim dengan melakukan kerjasama mitra daerah. Yang melakukan kerjasama adalah BUMD Provinsi dan BUMD Kabupaten/Kota di Jatim. Alhamdulillah yang sudah MoU dengan kita ada 10 kabupaten,” jelasnya, Sabtu (2/3/2024).
Mirza mengatakan lumbung pangan merupakan kebijakan yang diinisiasi Gubernur Khofifah dan diatur dalam sebuah peraturan gubernur atau sebuah produk hukum. Menurutnya, program lumbung pangan layak untuk diteruskan oleh Pj Gubernur Jatim dalam pengendalian inflasi dampak fluktuasi harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini.
“Apalagi kalau kebijakan itu dibuat lebih sedikit permanen. Tentunya perlu dikaji lagi dengan beberapa penyempurnaan. Sebab secara ide, ini adalah ide yang luar biasa bahkan di Indonesia baru provinsi Jatim yang berani menerapkan dan berhasil,” ungkapnya.
Mirza menegaskan program lumbung pangan itu berbeda dengan contract farming. Menurutnya contract farming belum menyelesaikan masalah, karena hanya sekedar menjamin hasil petani akan dibeli. Padahal inflasi bukan selesai hanya dengan contract farming tapi juga bagaimana bisa menjadi kebutuhan pupuk dan benih tanaman yang bagus terpenuhi dengan baik.
“Artinya mengatasi persoalan yang dihadapi kaum petani harus dari hulu hingga hilir. Bahasa Bu Khofifah itu diterjemahkan dengan program tanam, petik, olah, kemas dan jual menjadi satu rangkaian yang menyeluruh,” jelas Mirza.
Konsep lumbung pangan itu bukan pada pengontrolan harga. Tapi stabilisasi harga itu hanya sebagain dampak atau akibatnya saja. Lumbung pangan itu merupakan kolaborasi mulai dari produsen sampai pada jalur distribusinya itu tercipta, maka ketersediaan akan terpenuhi.
Kenaikan harga itu bukan hanya sekedar dipicu ketidaktersediaan barang tapi jika barang jika tak terdistribusi dengan baik tentu harga psikologis barang tersebut juga akan mengalami kenaikan.
“Ide briliant dari Bu Khofifah membikin program lumbung pangan itu untuk mempengaruhi harga psikologis maka diperlukan barang itu ada di tempat dan bisa dinikmati langsung masyarakat bukan hanya disimpan di gudang,” ungkapnya.
Sementara itu, saat ini harga beras yang masih tinggi di pasaran memang menjadi penyumbang utama inflasi Jawa Timur (Jatim).Beras memberikan andil inflasi (yoy) tertinggi sebesar 0,87 persen. Pada Februari 2024, rata-rata harga beras mencapai Rp 14.920 per kg. Perkembangan harga beras dalam beberapa bulan terakhir cenderung terus mengalami kenaikan setiap bulannya.
“Inflasi komoditas beras terjadi di seluruh kabupaten/kota, baik secara m-to-m maupun yoy. Secara m-to-m, inflasi beras tertinggi terjadi di Kabupaten Gresik sebesar 9,98 persen sedangkan secara yoy tertinggi di Sumenep sebesar 30,36 persen,” ujar Kepala BPS Jatim Zulkipli.
Sementara itu Dirut PT Jatim Grha Utama (JGU) Mirza Muttaqien mengatakan saat ini pihaknya mencoba menerapkan program lumbung pangan untuk membantu mengatasi persoalan kenaikan harga beras yang melambung. Dengan pola intervensi pada masyarakat serta menggabungkan pada pola ketersediaan dan jalur distribusi.
“Pola itu yang kita pakai yang dikenal sebagai lumbung pangan Jatim dengan melakukan kerjasama mitra daerah. Yang melakukan kerjasama adalah BUMD Provinsi dan BUMD Kabupaten/Kota di Jatim. Alhamdulillah yang sudah MoU dengan kita ada 10 kabupaten,” jelasnya, Sabtu (2/3).
Mirza mengatakan lumbung pangan merupakan kebijakan yang diinisiasi Gubernur Khofifah dan diatur dalam sebuah peraturan gubernur atau sebuah produk hukum. Menurutnya, program lumbung pangan layak untuk diteruskan oleh Pj Gubernur Jatim dalam pengendalian inflasi dampak fluktuasi harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini.
“Apalagi kalau kebijakan itu dibuat lebih sedikit permanen. Tentunya perlu dikaji lagi dengan beberapa penyempurnaan. Sebab secara ide, ini adalah ide yang luar biasa bahkan di Indonesia baru provinsi Jatim yang berani menerapkan dan berhasil,” ungkapnya.
Mirza menegaskan program lumbung pangan itu berbeda dengan contract farming. Menurutnya contract farming belum menyelesaikan masalah, karena hanya sekedar menjamin hasil petani akan dibeli. Padahal inflasi bukan selesai hanya dengan contract farming tapi juga bagaimana bisa menjadi kebutuhan pupuk dan benih tanaman yang bagus terpenuhi dengan baik.
“Artinya mengatasi persoalan yang dihadapi kaum petani harus dari hulu hingga hilir. Bahasa Bu Khofifah itu diterjemahkan dengan program tanam, petik, olah, kemas dan jual menjadi satu rangkaian yang menyeluruh,” jelas Mirza.
Dihubungi terpisah Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur Dydik Rudy Prasetya mengatakan stok produksi beras di Jawa Timur surplus. Meski demikian ia mengaku heran kenapa pemerintah pusat masih melakukan impor beras.
“Memang terjadi penurunan luas panen dan luas tanam, namun secara keseluruhan stok produksi beras kita masih surplus,” ujarnya.
Dydik mengatakan hasil panen Januari jika dikonversi, produksi padi hanya sekitar 289.791 ton. Namun demikian secara keseluruhan kita itu panen Januari kalau dikonversi, produksi padi Jatim hanya sekitar 289.791 ton. Sedangkan konsumsi kalau sampai Januari itu 378.000 sekian ton. Nah “Sehingga kalau padi dikonversi beras hanya 185.000 ton maka kita masih minus 192.000 ton untuk Januari,” terangnya.
Lebih lanjut Dydik mengatakan bulan Februari sudah mulai surplus. Karena panen pada bulan ini diperkirakan mencapai 600.000 ton. “Kemudian produksi beras 389.000 ton, konsumsinya 378.000 ton. Sehingga kita surplus 10.926 ton,” jelasnya.
Dydik mengatakan cara menghitung surplus bukan cuma dari panen Januari dan Februari, melainkan juga masih ada stok tahun lalu yang belum dikonsumsi. “Stok akhir tahun itu ada 2.853.000 ton, kemudian total ketersediaan sampai Februari 389.000 ton beras, totalnya 3,242.000 juta ton. Kebutuhannya hanya 362.000 ton. Kita masih surplus 2.890.844 ton. Kalau kita hanya memperhatikan Januari, kurang memang. Tapi kita masih punya stok tahun lalu,” katanya.
“Sehingga kita sampaikan bahwa Jawa Timur masih surplus dan kalau terjadi kenakkan harga, kami juga bingung karena pemerintah pusat juga impor,” imbuhnya.
Menurut analisa Dydik, naiknya harga beras ini karena musim hujan yang menyebabkan produksi beras turun pada Januari. Selain itu juga karena biaya produksi yang naik. “Kesulitan yang dialami petani adalah untuk pupuk bersubsidi alokasinya berkurang. Dengan kondisi itu, petani harus membeli pupuk non subsidi dan harganya berkali lipat. Kemudian ongkos tenaga kerja naik di sebagian wilayah tertentu. Selain itu transportasi juga naik. Kalau diakumulasi biaya produksi mulai dari dari on farm, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, transportasi, semua naik. Sehingga itu yang mendorong kenaikan harga beras. Ini analisa kami,” paparnya.
“Kalau Bulog bilang stok cukup dan kami juga bilang stok produksi juga surplus, maka yang harus dilihat adalah distribusinya. Bisa ditanyakan ke Disperindag Jatim. Kalau Disperindag bilang aman, berarti kenaikan harga beras sesuai analisa saya, karena biaya produksi naik,” pungkasnya. (Caa)