Surabaya, cakrawalanews.co – Perusahaan Daerah Rumah Potong Hewan (PDRPH) Surabaya mengalami kerugian dalam menjalankan bisnisnya ditahun 2021. Hal tersebut terungkap saat rapat Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Tahun Anggaran 2021 diruang Komisi B DPRD Kota Surabaya, Kamis (23/06/2022) dimana dari tahun 2020 hingga 2021 kemarin.
Dalam rapat tersebut terungkap jika dalam menjalankan roda usahanya RPH mengalami ketimpangan dimana biaya operasional yang dikeluarkan oleh RPH tak berbanding dengan pendapatan yang mereka terima.
Direktur Utama (Dirut) PD RPH Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan bahwa kondisi tersebut disebabkan adanya beban pajak yang harus dibayar dan tarif jasa potong yang murah.
“ Jagal hanya dikenakan tarif jasa potong sebesar Rp50 ribu,” ungkapnya.
Padahal biaya yang dikeluarkan RPH Surabaya dalam pelaksanaan pemotongan hewan sangat besar. Seperti biaya listrik, air dan pengolahan limbah yang membutuhkan pekerja yang banyak untuk lahan seluas 2 hektar milik RPH Surabaya.
“ Selama ini RPH menerapkan manajemen rumah potong tradisional. Kalau mengacu pada manajemen moderen RPH. Jagal menyerahkan seluruh proses pemotongan ke RPH. Mulai dari menyembelih, menguliti, mencacah sampai pengemasan. Besaran tarif juga dihitung berdasarkan proses tersebut. Termasuk biaya listrik, air dan pengolahan limbah,” terang Fajar.
Fajar menambahkan, dirinya mengaku sangat kesulitan dalam menerapkan aturan manajemen modern di RPH Surabaya yang ada di Pegirian dimana manajemen tradisional sudah menjadi sosio kultur masyarakat setempat. Sehingga pihaknya kesulitan ketika menerapkan aturan.
“Kajian kita bukan kajian hitam putih. Kegiatan pemotongan di RPH merupakan habit masyarakat setempat yang turun-temurun. Maka tidak mudah ketika dihadapkan pada aturan yang di atas kertas,” jelasnya.
Oleh karena itu, Fajar lantas berharap adanya rencana pengembangan PD RPH Surabaya di kawasan Banjar Sugihan bisa segera terealisasi sebagai solusi dalam mengembangkan PD RPH.
“Di tempat ini sosio kultur masyarakatnya berbeda. Kita berharap bisa mengembangkan manajemen RPH yang moderen. Saat ini kita sedang menggiatkan pelatihan untuk jagal dan pemboleng (tukang pemilah daging), supaya bisa direkrut menjadi pekerja kita. Sehingga kita tidak bergantung pada jagal dari luar,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya Anas Karno mengatakan, Komisi B yang membidangi keuangan ini memberikan atensi terhadap tarif jasa potong yang murah tersebut.
“Kalau dibiarkan dan diteruskan, saya yakin RPH tidak akan berkembang dan mencapai target pendapatan surplus,” tegasnya.
Lebih lanjut politisi PDIP Surabaya itu mengatakan, perlu ada revisi peraturan daerah soal tarif jasa potong hewan di RPH, sebagai acuan hukum.
“Tarif jasa potong itu meliputi awal penyembelihan hewan sampai proses pengemasan. Kemudian biaya listrik, air, pengolahan limbah. Itu biaya yang tidak sedikit. Kalau dibandingkan dengan tarif Rp.50 ribu tidak sepadan. Belum lagi hutang pajak yang harus dibayar RPH di tahun 2022,” ungkapnya.
Lebih lanjut menurut Anas, Dirut PD RPH Surabaya harus tegas dalam persoalan tarif jasa potong ini.
“Harus ada ketegasan. Seharusnya manajemen di dalam yang mengurusi pemotongan hewan. Bukannya diurusi oleh pihak luar seperti yang selama ini terjadi,” tukasnya.
Ia juga menyarankan untuk mencoba sosialialisasi sebagai upaya pemahaman dengan melibatkan jajaran samping.
“ Saya rasa action nya harus ada dengan melakukan pendekatan agar memahami aturan dengan melibatkan seperti kejaksaan, kepolisian dan TNI, untuk memberikan sudut pandang pemahaman sehingga bisa lebih memahami aturan dalam manajemen perusahaan,” pungkasnya.(hadi)