Setelah tak lagi berfungsi sebagai kawasan prostitusi, Putat Jaya masih terus di “utak-atik” oleh Pemkot Surabaya. Setelah dideklarasikan sebagai sentra Akik kini mendeklarasikan diri sebagai kampung wisata.
Peresmian Kampung Wisata Mural oleh Wali Kota Tri Rismaharini pada Minggu (21/2) merupakan langkah awal dari sekian konsep wisata yang bakal diterapkan di wilayah tersebut. Untuk perubahan eks-lokalisasi dolly kali ini lebih kreatif tak lepas dari peran komunitas anak muda, antara lain Gerakan Melukis Harapan (GMH) dan Surabaya Creative Network (SCN).
Ketua GMH Dalu Nuzul Qirom mengatakan, GMH merupakan organisasi yang beranggotakan 100an relawan dari berbagai kampus yang peduli terhadap perubahan kawasan eks-lokalisasi.
Dia melanjutkan, gerakan ini dimulai bahkan sebelum penutupan lokalisasi Dolly-Jarak. Saat itu, GMH menganggap kelompok pro maupun kontra penutupan sama-sama benar dengan argumennya masing-masing. Namun, GMH beranggapan kelompok yang kontra lebih banyak berbicara sesuatu yang belum terjadi. “Misalnya, nanti kalau lokalisasi ditutup akan ini lah, akan itu dan lain sebagainya. Padahal semua itu belum tentu terjadi,” ujar Dalu.
Akhirnya, GMH memutuskan mendukung alih fungsi lokalisasi Dolly dan Jarak. “Saat ini kita bisa membuktikan bahwa kawasan ini bisa berdaya dari segi UKM dan kreativitasnya. Ini bagian dari revolusi mental yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah RI,” imbuhnya.
Terkait seni mural, Wiryadi Dharmawan, salah seorang anggota SCN menuturkan, mural yang diterapkan di kawasan Putat Jaya sengaja dipilih yang bersifat interaktif. Hal ini bertujuan agar ruang yang dipakai mural bisa dimanfaatkan warga maupun pengunjung untuk ber-selfie ria.
Pria yang akrab disapa Cak Wo ini mengungkapkan, ke depan mural tidak hanya digambar pada tembok bangunan, tetapi juga di jalan-jalan perkampungan. “Fungsinya nanti lebih ke edukatif. Ada pula yang serupa dengan polisi tidur namun kita konsep berbeda seperti seolah-olah jalan itu penuh lubang. Tujuannya untuk meningkatkan kehati-hatian pengendara motor yang melintas,” urai Wiryadi.
Risma menyambut baik konsep mural ini. Bahkan dia bersedia dikritik melalui salah satu percabangan seni gambar itu. Namun, dia berpesan dalam menyampaikan pendapatnya, penggambar mural harus tetap memperhatikan norma dan kesopanan.
“Saya bukan tidak suka sama mural, tapi mural itu harus pada tempatnya. Agar mural bisa menyampaikan pesan positif, jangan sampai ada kata-kata kotor di dalamnya. Sebab, itu akan dilihat oleh anak-anak yang tinggal di sekitar sini,” paparnya.
Selain itu, Risma berharap seni mural juga dapat dikembangkan ke arah pelatihan lukis kanvas dan lukis via komputer. Hasil seni gambar yang menggunakan teknologi komputer dapat diupload dan dinikmati secara global.(mnhdi/cn02)