Umi pun mengungkapkan, saat ini ada sekitar 1.800 orang tenaga kerja yang bekerja di pabrik sigaret kretek tangan (SKT) dan menjadi tumpuan hidup ribuan anggota keluarga lainnya di Kabupaten Tegal. Dirinya mengkhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang itu berarti kontribusi bagi peningkatan jumlah pengangguran di wilayahnya.
Menurut Umi, tingkat pengangguran terbuka di wilayahnya sebelum terjadi pandemi saja sudah di angka 8,21 persen atau tertinggi di Jawa Tengah. Upayanya menekan angka pengangguran adalah meningkatkan serapan tenaga kerja dengan membuka investasi industri padat karya dan menjaga kelangsungan kerja penduduknya.
Untuk itu, pihaknya pun telah menyurati Menteri Keuangan agar meninjau ulang besaran kenaikan cukai rokok yang sekiranya tidak berdampak pada pengurangan karyawan pabrik rokok, utamanya SKT yang berbasis industri padat karya.
“Setidaknya, dalam situasi krisis ini yang kita perhatikan adalah keberlangsungan tenaga kerjanya dulu. Lagi pula, kenaikan cukai rokok tidak secara signifikan melindungi anak dan remaja dari ancaman kesehatan akibat mengonsumsi rokok. Buktinya, cukai rokok terus naik tiap tahun, tapi jumlah perokok pemula dan perempuan semakin bertambah,” ujar Umi.
Maka, lanjut Umi, faktor keluarga dan lingkunganlah yang harus diintervensi lebih kuat. Sehingga, untuk menekan perokok usia dini, kampanye bahaya rokok lewat jalur pendidikan formal dan informal seperti pendidikan lingkungan dan keluarga lebih dikedepankan, lalu pemberantasan cukai rokok ilegal, pembatasan iklan rokok di media luar ruang, media sosial dan acara-acara hiburan serta event olahraga.
“Saya rasa cara ini lebih efektif jika tujuannya menekan konsumsi rokok di kalangan remaja, anak-anak dan perempuan ketimbang menaikkan cukai rokok,” pungkasnya. (Ananto Pratikno)