Sore itu Yudisthira yang masih remaja sedang asik bermain bola bersama adik-adiknya dari Pandawa dan Kurawa di lapangan sepakbola Hastina Pura sementara Bagong yang disuruh mengawasi mereka tertidur pulas fibawah pohon dipinggir lapangan.
Bola yang ditendang keras oleh Werkudara melayang sampai terlempar jauh dan dikejar anak – anak Pandawa dan Kurawa masuk kedalam sebuah sumur tua di belakang istana Hastina Pura dimana sedang beristirahat seorang pria bernama Bambang Kumbayana atau Durna.
Dengan sengaja Durna memamerkan kesaktianya dan kelihaianya untuk mengambil bola yang masuk kedasar sumur sehingga para putra Pandawa dan Kurawa terpesona dan meminta kepada eyangnya Bhisma agar Durna diangkat dan dijadikan guru mereka.
Bhisma tidak tahu bhwa tujuan Durna sebenarnya adalah ingin membalas penghinaan Sucitra saudara seperguruanya yang telah menjadi raja Pancala yang bergelar Prabu Drupada yang telah mengingkari janjinya memberikan separuh kekuasaan kepada Durna atas Pancala sehingga akhirnya mengangkat Durna menjadi guru anak – anak Hastina pura.
Akhirnya dengan kecerdikan dan kelicikanya Durna berhasil menuntaskan dendamnya kepada raja Pancala Prabu Drupada dan memaksanya menyerahkan separo kerajaan Pancala menjadi miliknya dengan bantuan murid – muridnya yaitu Pandawa dan Kurawa.
Tidak cukup sampai disitu dengan ketamakan kesombongan serta keserakahanya Resi Durna yang merasa paling linuwih sakti dan berkuasa kemudian menghasut para pembesar kerajaan dan mengadu Domba para keturunan dan pewaris kerajaan Hastina Pura yaitu Kurawa dan Pandawa.
Rupanya keilmuawan dan trah Brahmana yang melekat pada dirinya telah membuatnya lupa diri sehingga dengan tidak malu lagi menjual ilmu agama dan pengaruhnya untuk kepentingan politik kekuasaan yang kelak akan membawa bencana berupa Bharata Yudha Jaya Binangun.
Dia lupa pada Tuhan dan wejangan orang tuanya Resi Pradmadya bahkan ia lupa dengan ajaranya sendiri yaitu sapa sing salah mesti seleh bahwa kebenaran tidak akan pernah kalah oleh kejahatan meskipun dibungkus dengan topeng agama.
Dalam Kesedihanya Semar menangis tersedu karena tak tega menyaksikan para pemuka agama justru memamerkan dan mempertotonkan prilaku yang tidak terpuji bahkan terang-terangan berani menjual ajaran dan agamanya demi nafsu duniawi semata.
Sementara itu Bagong masih sibuk dengan urusanya sendiri berkelana seorang diri mencari makna sejati dari hidup dan kehidupan lewat jalan gilanya menuju Tuhan.
*) Penulis Ki Sengkek Suharno adalah
Dalang Wayang Kebangsaan
Wakil Ketua Bidang Seni Budaya dan Olahraga PC GP Ansor Kab. Tegal
■senja Pantai Metro 1 Desember 2020