Tupai diciptakan di bumi ini pasti mengemban misi. Ini persoalan yang harus dipahami secara baik oleh kita bersama sebagai Mahkuk ciptaan Tuhan.
Tupai binatang yang kecil dan lucu itu bukanlah tanpa maksud Allah mendatangkannya di muka bumi. Ia adalah bagian dari makluk hidup yang tak terpisahkan dari equilibrium kehidupan.
Jadi saya yakin bahwa tupai-tupai yang melompat-lompat dari dahan kelapa satu ke dahan kelapa lainnya merupakan penyeimbang kehidupan alamiah. Mereka pastilah membantu kita, sebagai penyeimbang dalam hidup kita yang tak pernah kita mau tahu dan bahkan tak kita pedulikan. Mereka dihadirkan Allah sebagai sahabat yang melengkapi proses alami demi kehidupan yang selaras, seimbang dan damai.
Maksud saya menjelaskan semua ini, sudah barang tentu mengkritisi analogik dan metaforik masyarakat secara umum untuk menjadikan tupai sebagai analogik koruptor dan metaforik korupsi. Selain itu, kampanye terhadap pembasmian tupai sampai keakar-akarnya juga bukan gagasan yang simpatik. Kalau toh tupai sampai meresahkan petani kelapa ,bentuk perburuan untuk mengurangi dan menghambat perkembangan kelahiran boleh-boleh saja. Saya setuju dengan cara bijak seperti itu.
Semua dikembalikan kepada hak masyarakat untuk tetap bertahan dengan gagasan tersebut. Ini hanya persoalan kajian kritis dan bukan sesuatu mutlak. Karena simbol sendiri juga bersifat ambigu dan karena sebab itu terkadang pemakaian tanda/simbol mempunyai makna yang lain (tupai sebagai bajingan menjadi koruptor misalnya) bisa menyakitkan banyak orang (karena sumber pengacauan) di satu pihak tetapi di pihak lain justru bisa menguatkan.
Artinya bahwa tanda atau simbol tersebut memiliki penanda yang tidak tunggal dan sejumlah simbol dan tanda-tanda bisa direpresetasikan melalui satu tanda saja karena tanda-tanda merupakan fenomena yang kompleks dan menuntut pembacaan yang hati-hati dan penuh pertimbangan.
Bagi orang Jawa, tupai memang disebut bajing. Karena menurutnya tupai memakan kelapa tanpa harus minta ijin dulu kepada yang empunya kelapa. Ia disebut “bajing” karena dianggap mencuri kelapa. Pada hal secara alami, kelapa adalah makanan utamanuya. Tetapi tupai tahu (yang manusia tidak tahu) kelapa yang bagaimana yang ia konsumsi dan kelapa mana yang dikonsumsi manusia. Sehingga tupai tersebut memakan hanya buah kelapa yang “bajang,” yaitu kelapa masih muda dan bakal tidak jadi matang.
Tupai-tupai tersebut memakan kelapa-kelapa adalah hak yang diberikan Tuhan untuk hidup, seperti halnya manusia boleh menguasai kelapa sebagai hak miliknya.
Jadi disini ada pembagian yang adil antara binatang dan manusia untuk menguasai dan menggunakan hasil ciptaan Allah. Manusia tidak bisa serakah begitu saja dan tidak memberi hak penguasaan terhadap makluk yang lain. Dengan takdir masing-masing pembagian berkah Allah dari alam raya saya anggap sudah seimbang. Kelapa adalah milik Allah dan dibagikan kemana makluk di bumi dengan cara seadil-adilnya. Artinya manusia menguasai kelapa yang kualitasnya bagus, sedangkan Tupai cukup dengan kelapa bajang, yang oleh manusia kelapa yang demikian itu tidak akan laku dijual.
Sebagai Pembanding yang mungkin juga merupakan sebuah Ironi yang mungkin akan berbeda dengan pendapat masyarakat pada umumnya adalah pada peringatan Hari Dharma Karya Dhika (HDKD) tahun 2018 tupai dipilih sebagai maskot acara karena memiliki filosofi dan simbol yang luhur.
Maskot itu diluncurkan karena menurut mereka tupai menggambarkan hewan yang cerdas, lincah, tangguh dan pantang menyerah yang dapat dimaknai bahwa sebagai pejabat dan ASN yang mampu bekerja keras dan bekerja sama serta berjiwa kesatria untuk mengabdi pada bangsa dan negara.
Lebih lanjut, ASN harus ada komunikasi dan koordinasi yang baik antara atasan dan bawahan secara berjenjang. Konflik hanya akan membuang energi serta memecah belah kekuatan dan menurunkan kemampuan kinerja kita.
Saat ini yang harus dilakukan adalah bergandeng tangan, bahu membahu, dan mencari solusi secara bersama-sama Sehingga setiap persoalan yang dihadapi Kemenkumham dapat ditangani dengan baik. (Humas Kemenkumham Jatim)
Bukankah ini bertentangan dengan tanda dan simbol serta pemahaman masyarakat pada umumnya?
Wallohu a’lam Bisshowab….
Mari kita berdoa bersama saja semoga momentum hari Anti Korupsi Dunia yang bertepatan dengan Pilkada serentak di Indononesia agar dapat menghasilkan pemimpin yang smanah yang mampu memegang teguh sumpah dan janjinya….
Tapi justru yang paling penting adalah menghasilkan rakyat yang sadar dan memahami serta mawas diri yang tidak gampang dibeli sehingga mampu membedakan mana yang bajing dan mana yang bajingan….
Jangan sampai kita sebagai rakyat justru menjadi aktor yang menciptakan para bajingan itu lahir dan berkembang biak…..
Selamat jari Anti Korupsi Dunia
#suluksurasa
*) Penulis Ki Sengkek Suharno adalah
Dalang Wayang Kebangsaan
Wakil ketua PC GP Ansor Kab. Tegal
■Pojok KPU Pemalang 9 Desembet 2020