Setiap suami bisa dipastikan pernah mengalami perlakuan tidak layak dari isteri yang membuat perasaannya tersinggung, tidak terkecuali Nabi Muhammad SAW.
Terkait dengan hal ini, terdapat tindakan tidak menyenangkan dari seorang isteri kepada suami yang masuk dalam kategori membangkang dalam pandangan islam, dimana ajaran spesifik terkait bagaimana seharusnya seorang suami menyikapi pembangkangan isteri dapat kita temukan dalam Qur’an maupun kitab klasik karya para ulama’.
Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa seorang suami tidak berhak melakukan sesuatu apapun kepada isteri, kecuali hal-hal yang baik. Mereka baru diperbolehkan berbuat sesuatu apabila isteri melakukan maksiat. Syekh Nawawi menyontohkan, salah satu kemaksiatan istri adalah kembali ke rumah orang tua tanpa sepengetahuan suami, atau melakukan pembangkangan terhadap suami secara terang-terangan.
Pembangkangan isteri terhadap suami dalam fiqhi islam disebut dengan nusyuz. KH. Afifuddin Muhajir dalam kitab Fathul Mujibu Al-Qorib menjelaskan Nusyuz sebagai tindakan istri yang abai dari pemunuhan hak suami yang menjadi kewajiban isteri berupa ketaatan, perlakuan baik dan berdiam diri di rumah suami. Syekh Abu Syuja’ dalam Kitab Taqrib menjelaskan tentang sikap suami ketika menghadapi pembangkangan isteri sebagai berikut :
“ Jika seorang isteri sudah nyata durhaka (nusyuz), suami hendakmnya menasehati. Jika masih terus saja durhakanya, hendaknya suami pisah tidur dengannya. Kalau masih terus saja kedurhakaannya, maka suami boleh memukulnya. Dan akibat durhaka itu, gugurlah hak isteri menerima pembagian dan nafkah.”
Dalam Kitab Kifayatu Al-AKhyar, ImamTaqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini menjelaskan lebih lanjut, apabila kelihatan tanda-tanda durhaka pada seorang isteri, misalnya ia biasa berbicara dengan baik atau kalau suami mengajak tidur ia biasa menjawab “ia baik” dan sebagainya, kemudian kebiasaan itu berubah, maupun dengan perbuatan, misalnya ia semestinya menampakkan wajah berseri-seri kemudian menampakkan wajah merengut atau menampakkan sikap berpaling yang berbeda dari biasanya, maka hendaknya suami menasehati dengan perkataan, umpama ‘apakah sebenarnya perubahan yang terjadi padamu ini; biasanya engkau tidak begitu. Takutlah kepada Allah sebab hakku wajib atasmu’.
Kemudian, suami menerangkan kepada isteri bahwa nusyuz bisa berakibat hak nafakah, pakaian dan pembagian gilirannya gugur. Hal ini merujuk kepada firman Allah dalam Surat Al-Nisa; ayat 34 yang berbunyi :
“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka”
Imam Taqiyuddin menyarankan, seorang suami tidak boleh sembarangan, tergesa-gesa berpisah tidur ataupun memukul isteri, hal ini mengingat, sikap istri yang tidak berkenan di hati suami kemungkinan bukan nusyuz, barangkali isteri memperlihatkan halangan karena uzur atau sudah menyesal, malah sebaliknya, suami sebaiknya bersikap baik dan menyenangkan hatinya.
Kemudian, kalau masih terus durhaka, dan terenyata nusyuz itu nyata dilakukan oleh isteri, misalnya tidak mau diajak tidur bersama, dan sekiranya mengembalikan dia taat pada suami ternyata memerlukan usaha yang susah lagi melelahkan, sulit mencari perantara, atau si isteri sudah keluar dari rumah suami tanpa izin dan sebagainya, maka hendaknya suami berpisah tempat tidur.
Syekh Nawawi Al-Bantani menyitir pendapat yang membolehkan suami berpisah ranjang dengan isteri yang membangkang tanpa batas waktu. Meninggalkan wanita yang nuzyuz sejatinya dimaksudkan sebagai pelajaran, harapannya dikemudian hari bisa tercipta hubungan yang lebih harmonis serta maslahat. Lebih jauh Syekh nawawi menjelaskan, selama isteri belum berperilaku baik kepada suami, maka suami diperbolehkan meninggalkan isteri sampai bertahun-tahun. Setelah isteri berperilaku baik , serta menyadari kesalahnnya, maka sang suami pun tidak boleh meninggalkannya lagi.
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat, bahwa batas meninggalkan isteri adalah delapan bulan. Jika isteri tidak digauli (dipisah ranjang), namun tetap tidak mau sadar, maka suami diperbolehkan memukulnya, sepanjang tidak sampai menyakitkan dan melukai badannya. Lebih lugas Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini berpesan, hendaknya pukulan itu bersifat mendidik dan mencela. Suami hendaknya tidak boleh memukul isteri sampai mencucurkan darah, tidak melukakan, tidak mencelakakan, dan tidak memukul di area wajah. Jika tindak pemukulan suami berdampak pada kecacatan, ia wajib membayar ganti rugi sebab ia dikategorikan secara jelas berniat mencelakakan, tidak memperbaiki.
Namun demikian, Imam Taqiyuddin berpendapat, memaafkan isteri adalah jalan yang lebih baik bagi suami. Menurut hemat penulis, senada dengan nasehat para ulama’, langkah memaafkan adalah hal yang utama setalah melakukan percakapan introgatif secara baik dengan istri, dan terlihat ada upaya permohonan maaf mauapun perbaikan hubungan yang lebih baik dari istri, dengan demikian kesejukan keluarga akan lebih bisa diraih dalam pola hubungan saling memahami antara satu sama lain.****
*) Penulis adalah dosen MK Agama Islam Universitas Jember