Jakarta, Cakrawalanews.co – Rencana membuka kran ekspor benih lobster (benur) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menurut Departemen Informasi dan Kampanyer Serikat Nelayalan Indonesia (SNI) Pusat Amir Mahmud mulai mengemuka ke publik, dan menuai perdebatan kontroversial. Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini, Edhy Prabowo tampaknya memiliki tekad kuat untuk memberikan izin legal ekspor benih lobster ke luar negeri dengan merevisi kebijakan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan jalur yang ditempuh oleh Menteri KKP periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti yang menerbitkan kebijakan larangan ekspor benih lobster. Kebijakan Susi ini pun pada awalnya tidak luput dari kontroversi.
Alasan yang diungkapkan Menteri KKP Edhy Prabowo dalam rencana membuka ekspor benih lobster cenderung menitikberatkan pada aspek ekonomi khususnya untuk menggenjot nilai (ekonomi) ekspor Indonesia, dan menjaga tingkat kesejahteraan nelayan khususnya penangkap lobster. “Seperti diketahui bersama, Presiden Joko Widodo mendorong peningkatan jumlah dan nilai ekspor untuk mengatasi defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan. Lobster diharapkan dapat diandalkan sebagai komoditas ekspor untuk memperbaiki kondisi itu” ungkap Departemen Informasi dan Kampanye Serikat Nelayan Indonesia (SNI) di sekretariatnya belum lama ini.
Dikatakan Amir Mahmud, di balik aspek ekonomi, juga muncul belakangan aspek lingkungan untuk menyokong ekspor benih lobster seperti penerapan kuota tangkap benih lobster agar mengurangi daya rusak terhadap ekosistem laut secara berlebihan. Lobster memang menjadi komoditas yang menggiurkan untuk diekspor. Bila merujuk pada data BPS (2019) yang telah diolah (Suhana, 2019) menggambarkan secara terang bahwa nilai ekspor komoditas lobster Indonesia dalam periode Triwulan 1 tahun 2014-2019 rata-rata tumbuh 3,54% per tahun, akan tetapi volume ekspor tersebut turun sebesar 10,55 % per tahun.
Pada saat yang sama unit value ekspor komoditas lobster Indonesia rata-rata tumbuh 13,03 % per tahun dalam periode Triwulan 1 tahun 2014-2019. Mengacu pada data yang sama, pada tahun 2017 volume ekspor turun drastis sekitar 36,26 % dibandingkan Triwulan 1 tahun 2016, dan terus terjadi penurunan pada tahun 2018 dan 2019.
Hal ini kemungkinan besar dampak dari larangan ekspor benih lobster yang berlaku efektif tahun 2017. Sekakalipun volume turun namun nilai ekspor mengalami kenaikan. Tak dapat dipungkiri bahwa terjadi perbaikan harga komoditas lobster, katamya
Pembukaan kran ekspor benih lobster menurutnya, berkonsekuensi pada revisi aturan larangan ekspor benih lobster (benur) sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/Permen-KP/2016 (Permen KP 56/Permen-KP/2016) yang berlaku efektif sejak tanggal 23 Desember 2016. Selain mengatur larangan ekspor, Permen tersebut juga tidak memperbolehkan penangkapan benih lobster di wilayah Indonesia.
Larangan penangkapan lobster telah diberlakukan sejak tahun 2015 melalui Permen KP 1/PERMEN-KP/2015, dan direvisi dengan Permen KP 56/Permen-KP/2016. Ciri-ciri lobster (Panulirus spp.) yang dilarang untuk ditangkap dan/atau dikeluarkan (ekspor) yaitu: kondisi bertelur, dan ukuran panjang karapas < 8 (delapan) cm atau berat < 200 (dua ratus) gram per ekor, menurut Amir..
Diungkapkan, sekalipun bertujuan untuk menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumberdaya lobster di alam (laut) namun larangan ini kurang diimbangi dengan perhatian serius pada aspek sosial-ekonomi nelayan tangkap lobster yang kehidupannya bergantung pada nilai ekonomi lobster.
Sejauh ini perdebatan kontroversial terkait larangan ekspor atau dorongan ekspor benih lobster bermuara dan bahkan terjebak pada kepentingan dua kutub yaitu ekonomi dan lingkungan. Yang pertama untuk keuntungan ekonomi atau nilai lebih, dan yang kedua demi penyelamatan lingkungan, ungkapnya .
Sementara itu, Budi Laksana Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mengatakan, Kepentingan sosial (keadilan sosial) jarang diperhatikan secara serius terkait nasib produsen lobster yaitu nelayan penangkap lobster. Pada saat larangan penangkapan dan pengeluaran (ekspor) diberlakukan, nelayan kecil seringkali tertangkap tanpa ada kemauan untuk mengungkap rantai perdagangannya secara menyeluruh, ungkap Sekjen Pusat SNI
Lebih lanjut Budi Laksana mengungkapkan, dalam rantai perdagangan lobster pun nelayan kecil tidak jarang pula sebagai pihak yang lemah dalam posisi tawar penentuan harga dengan pengepul atau supplier/eksportir lobster. “Kondisi seperti ini tak terkecuali dalam pembukaan ekspor benih lobster, nelayan kecil berpotensi merugi karena lingkungan rusak dan tidak mendapatkan keuntungan ekonomi yang berkelanjutan ke depan” ujarnya
Ketiga kepentingan itu yakni ekonomi, lingkungan dan sosial seharusnya diperhatikan secara seimbang dalam kerangka kebijakan ekspor benih lobster khususnya, dan pengelolaan pesisir dan sumberdaya ikan pada umumnya. Dengan latar belakangan dan analisa di atas, Serikat Nelayan Indonesia (SNI) mendesak dan menuntut pada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan ekspor benih lobster (benur) ke luar negeri yang merugikan nelayan kecil dan lingkungan dalam jangka panjang.
Membongkar dan menangkap penyelundupan dan rantai perdagangan illegal benih lobster termasuk keterlibatan pengepul, supplier dan eksportir. Serta elaksanakan secara penuh dan bertanggung jawab terhadap strategi pengakuan dan pemberdayaan nelayan skala kecil dan keluarganya pada aspek produksi, pengolahan dan pemasaran seperti amanat yang terkandung dalam UU 7/2016 sehingga nelayan kecil mencapai kemakmuran dan kedaulatannya.
Dan memberikan jaminan pengelolaan kelautan dan perikanan berbasis wilayah bagi nelayan skala kecil melalui hak pemanfaatan wilayah (territorial use right) berbasis kelompok/komunitas untuk mengelola dan mengembangkan ragam komoditas perikanan termasuk lobster, yang dicantumkan dalam RZWP3K, tandas Budi Laksana. (Dasuki Raswadi)
.