Jakarta, Cakrawalanews.co – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), Senin (30/9/2019) hari ini. Sidang digelar pukul 08.30 WIB.
Berdasarkan berkas permohonan yang dilansir website MK soal UU KPK diajukan oleh 18 mahasiswa. Kuasa Pemohon, Mahasiswa FHUI, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menjelaskan seluruh pemohon ini akan hadir di MK.
“Semua pemohon akan hadir ada dari luar daerah yang pakai video conference. Saya sebagai kausa pasti hadir. Dari daerah yang hadir dari Yogya sama Surabaya itu yang mereka pakai video conference. Dari Jakarta sepertinya semua hadir,” kata Zico.
Zico mengatakan, sidang perdana ini hanya membacakan permohonan.
“Hari ini itu baru sidang pendahuluan, hanya baca permohonan, nanti hakim beri masukkan perbaikan untuk nanti di sidang perbaikan itu 2 minggu setelahnya untuk nanti perbaikan permohonan 2 minggu setelahnya,” terangnya.
Pada sidang berikutnya, Zico menuturkan akan kembali mengajukan penambahan pemohon. Dia menyebut sudah ada 100 orang lebih yang bersedian menjadi pemohon terkait gugatan UU KPK ini.
Zico mengatakan penambahan pemohon nanti dari orang yang memiliki latar belakang berbeda-beda mulai dari mahasiswa, buruh, hingga pengusaha.
“Target kami mau menambah pemohon, sampai saat ini yang sudah mengamini mau ikut ada 100 orang lebih, tinggal kirim surat ke saya. Jadi nanti perbaikan dulu 18 orang, habis itu dua minggu setelahnya kasih berkas nambah pemohon,” tuturnya.
UU KPK baru itu sejatinya baru menjadi UU bila sudah diberi nomor dan ditandatangani Presiden RI. Namun belum sampai dinomori dan diteken Presiden, UU itu sudah ada yang menggugat ke MK. Dalam gugatan ini, pemohon menilai pembentukan UU KPK baru tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945.
“Menyatakan pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945,” demikian gugat para pemohon.
Salah satu argumennya, berdasarkan hitungan manual, rapat paripurna DPR hanya dihadiri 80 anggota DPR. Meski pimpinan sidang DPR, Fahri Hamzah menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin, dari 560 anggota DPR.
“Pembentukan UU a quo sebagai proses pembentukan UU yang baik tidak dipenuhi sehingga timbul kerugian yang sebenarnya dapat dicegah jika asas-asas pembentukan UU yang baik dipenuhi,” ujar penggugat.
Di sisi lain, Presiden Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) KPK. Syarat lahirnya Perppu adalah kegentingan yang memaksa. Apa itu kegentingan yang memaksa?
Kewenangan Presiden membuat Perppu lahir dari Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Namun apa yang dimaksud ‘kegentingan yang memaksa’? Tidak dijelaskan dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan tafsir ‘kegentingan yang memaksa’. Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Menurut putusan MK itu, kondisi kegentingan yang memaksa adalah:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945,” ujar majelis yang diketuai Mahfud Md.
Menurut MK, pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa.
“Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang- Undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perppu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara,” pungkas MK.(dtc/ziz)