Surabaya, cakrawalapost.com – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI mengimbau masyarakat dan dunia akademik untuk cerdas dalam mengakses informasidengan turut serta perang terhadap hoax (berita bohong).
Di era digital ini, masyarakat mengalami kaya informasi dengan akses yang mudah. Tak jarang hoax dan fake news bermunculan di sosial media, platform media online bahkan saluran pribadi (WhatsApp).
“Hoax adalah pesan yang ingin dibuat, untuk menggeser dengan informasi yang salah atau palsu,” kata Prof Henry Subiakto, staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) RI saat seminar internasional bertajuk International Conference on Contemporary Social and Political Affairs (ICoCSPA) 2018 yang digelar oleh Fisip Unair Surabaya, Senin (13/8/2018).
Kemunculan hoax tersebut, tidak lepas dari adanya perkembangan teknologi. Hakikatnya teknologi diciptakan untuk mempermudah kegiatan manusia. Seperti yang dikutip Menkominfo dalam Marshall McLuhan bahwa “Teknologi adalah perpanjangan dari tubuh manusia”. Seperti kamera perpanjangan dari mata, radio perpanjangan dari telinga, dll.
“Namun saat ini Smartphone perpanjangan dari aktivitas kehidupan manusia,” imbuhnya.
Smartphone sangat dekat dengan kehidupan manusia, bahkan memberikan efek ketergantungan. Melalui smartphone inilah masyarakat memproduksi, menyebarkan dan mengkonsumsi informasi atau pesan. Sosial media dan instant messenger menjadi tempat masyarakat untuk menyebarluaskan informasi. Anonimitas sering kali muncul pada platform tersebut, dan masyarakat lalai akan kebebasan media tersebut.
Kebebasan dalam berargumentasi dengan isu yang ada dilingkungan sekitar, membuat masyarakat dapat menjadi citizen journalism. Hanya mengandalkan akun media sosial sebagai tempat menyebarkan informasi, semua masyarakat memiliki kesempatan menjadi jurnalis. Tanpa melalui pembelajaran formal di jurusan komunikasi ataupun jurnalis.
Menurutnya, hoax tidak hanya menyebar melalui tulisan saja, melainkan gambar dan video. Tokoh politik seringkali menjadi incaran dalam informasi hoax melalui gambar. Seperti pada kasus foto Jokowi sholat saat posisi tahiyat dan didepannya terdapat jenazah. Hal tersebut menimbulkan interpretasi masyarakat yang berbeda-beda. Padahal foto tersebut merupakan manipulasi.
Menurut Henry Subiakto, cara memerangi hoax paling dini berasal dari diri sendiri. “Filter pertama adalah pada diri individu. Selain itu, cek dan ricek dengan cara mengkomparasi berita atau informasi yang diterima dengan media lain,” ujarnya.
Pelanggaran mengenai penggunaan media sosial, penyebaran hoax menurut peraturan yang sudah diterapkan oleh Menkominfo. Hal tersebut dapat dijerat hukum yang terkandung dalam UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan atasUU No. 11 tahun 2008 mengenai ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan dilakukan pemblokiran situs yang bersangkutan. Regulasi ini, sebagai efek jera masyarakat akan hoax dan memberikan kesadaran masyarakat untuk teliti dan peka akan informasi yang benar.(rur)