Surabaya, cakrawalapost.com – Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) mengungkapkan lebih dari 50 persen hutan mangrove di Indonesia rusak. Ini tentu sangat memprihatinkan mengingat sebagai negara kepulauan, mangrove adalah salah satu ekosistem penting bagi pulau-pulau di Indonesia.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati Walhi, bersamaan dengan Hari mangrove Sedunia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli.
Menurutnya, mangrove sangat bermanfaat untuk menyaring air, mencegah abrasi, dan menahan gelombang. Belum lagi manfaat ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat dengan munculnya kepiting dan udang di hutan mangrove.
“Ketika mangrove rusak dibutuhkan gerakan massal untuk melakukan reboisasinya. Dan ini seharusnya dilindungi pemerintah dan diberikan fasilitasi-fasilitasi sehingga inisiatif warga makin banyak muncul dan menumbuhkan perbaikan-perbaikan di berbagai tempat,” papar Nur Hidayati, dalam siaran persnya, Kamis (26/7/2018).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, lebih dari 1 juta hektare hutan mangrove di Indonesia, rusak. Dari lebih 3 juta hektare, dalam kondisi baik dan sedang sekitar dua juta. Kerusakan mangrove karena alih fungsi, tambak, pemukiman, industri, infrastruktur, pencemaran limbah, dan lain-lain.
Walhi mengapresiasi upaya Walikota Surabaya yeng telah merehabilitasi hutan mangrove sebagai akses nelayan lokal. Tak mudah melawan praktik pemberian izin alih fungsi mangrove. Pada 1980, kawasan timur Surabaya nyaris habis. Pernah ada yang mencoba mengembalikan hutan mangrove lalu rusak lagi. Pada 2010, Risma mengeluarkan peraturan daerah menghentikan izin alih fungsi ini. Dari 3.600 hektare, bisa selamat 2.500 hektare menjadi ruang terbuka hijau kawasan konservasi.
Untuk menjaga kelestarian mangrove, ia meminta masyarakat untuk tidak membuang langsung limbah minyak, sampah kimia, cat, dan oli ke laut karena dapat merusak karang-karang. Hal ini karena air laut tidak punya penyaring sebagaimana halnya jika digalikan ke dalam tanah.
Ia juga meminta masyarakat untuk tidak serakah dengan menyediakan waktu libur menangkap ikan agar ikan memiliki waktu untuk beregenerasi. Contohnya kebijakan sasi (penutupan sementara) penangkapan kerang lola, lobster, dan sebagainya yang diterapkan beberapa daerah dalam jangka waktu tertentu. (rur)